Sejarah Si Singamangaraja XI
Traktat Sumatera pada tahun 1871 menandai babakan baru dalam ambisi pemerintah Kolonial Belanda untuk menguasai wilayah Sumatera. Setelah Perang Paderi di Sumatera Barat diselesaikannya, daerah Tapanuli menjadi sasaran berikutnya. Semenjak berkobarnya Perang Aceh, sebagian daerah Tapanuli diduduki oleh tentara pendudukan kolonial. Belanda juga mulai menempatkan kontrolir di Balige, Tarutung, dan Sipoholan.
Sepak terjang serdadu Belanda itu menimbulkan reaksi keras dari Si Singamangaraja XII, Raja Tapanuli. Patuan Bosar Ompu Pulo .Batuyang ketika naik tahta bernama Si. Singamangaraja XII itu dilahirkan di Bakkara, Tapanuli Utara pada tahun 1849. Selain berkedudukan sebagai raja, dia juga menjabat sebagai kepala adat sekaligus sebagai pemimpin agama yang disebut Parmalim. Kedudukannya itu memberikan kewibawaan tinggi di kalangan rakyatnya. Hal itu terlihat ketika, dia mengangkat senjata meiawan Belanda.
Dalam perang itu, Si Singamangaraja XII memimpin sendiri perIawanan menghadapi Belanda. Serangan terhadap pos-pos Belanda di Tarutung, Balige, dan Bakkara dilancarkan pada tahun 1878. Dalam peperangan itu, raja Batak itu bekerjasama dengan beberapa panglima Aceh dan Sumatera Barat. Serangan yang paling berhasil terjadi di Tangga Batu pada tahun 1884. Karena banyak mengalami kekalahan, Belanda meningkatkan kekuatan dan melakukan berbagai intimidasi dan tindak kekerasan. Orang-orang yang dicurigai membantu Si Singamangaraja ditangkap dan dibunuh, namun demikian perlawanantetapdijalankan.
Untuk mempengaruhi pihak-pihak yang tidak menyukai kedudukan Si Singamangaraja XII maka Belanda menyediakan hadiah uang sebesar 2.000 gulden bagi siapa saja yang dapat menangkapnya hidup atau mati. Namun, rakyat tidak mau mengkhianati rajanya dan terus mengobarkan perlawanan. Belanda dengan membabi buta membakar kampung-kampung dan memaksa rakyat membayardenda yang tinggi.
Berbagai usaha pengepungan dan penyerangan mendadak dilakukan Belanda namun tidak menunjukkan hasil yang berarti. Pada tahun 1894, Raja itu bersama laskarnya menghadapi tentara Belanda dalam jumlah besar karena didatangkan dari Medan dan Aceh sehingga kekuatannya melebihi kekuatan Si Singamangaraja. Raja Batak itu bertahan di daerah Bakkara dan menjadikan daerah itu sebagai pusat perlawanan. Lewat pertempuran yang sengit akhirnya kubu pertahanan itu jatuh ke tangan musuh. Kemudian, daerah pertahanan dipindah ke Dairi Pakpak, sebuah perkampungan di Barat Daya Danau Toba.
Pasukan Belanda ternyata berhasil masuk meialui Tapanuli Utara ke basis pertahanan para pejuang. Tempat itu akhirnya dapat dikepungPermintaan Belanda agar raja itu menyerah ditolak dan pertempuran sengit berlangsung. Si Singamangaraja yang bersemboyan “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah” itu akhirnya gugur pada tahun 1907 setelah selama tiga puluh tahun'mengobarkan perlawanan rakyat Tapanuli untuk mengusir Belanda.
Sepak terjang serdadu Belanda itu menimbulkan reaksi keras dari Si Singamangaraja XII, Raja Tapanuli. Patuan Bosar Ompu Pulo .Batuyang ketika naik tahta bernama Si. Singamangaraja XII itu dilahirkan di Bakkara, Tapanuli Utara pada tahun 1849. Selain berkedudukan sebagai raja, dia juga menjabat sebagai kepala adat sekaligus sebagai pemimpin agama yang disebut Parmalim. Kedudukannya itu memberikan kewibawaan tinggi di kalangan rakyatnya. Hal itu terlihat ketika, dia mengangkat senjata meiawan Belanda.
Dalam perang itu, Si Singamangaraja XII memimpin sendiri perIawanan menghadapi Belanda. Serangan terhadap pos-pos Belanda di Tarutung, Balige, dan Bakkara dilancarkan pada tahun 1878. Dalam peperangan itu, raja Batak itu bekerjasama dengan beberapa panglima Aceh dan Sumatera Barat. Serangan yang paling berhasil terjadi di Tangga Batu pada tahun 1884. Karena banyak mengalami kekalahan, Belanda meningkatkan kekuatan dan melakukan berbagai intimidasi dan tindak kekerasan. Orang-orang yang dicurigai membantu Si Singamangaraja ditangkap dan dibunuh, namun demikian perlawanantetapdijalankan.
Untuk mempengaruhi pihak-pihak yang tidak menyukai kedudukan Si Singamangaraja XII maka Belanda menyediakan hadiah uang sebesar 2.000 gulden bagi siapa saja yang dapat menangkapnya hidup atau mati. Namun, rakyat tidak mau mengkhianati rajanya dan terus mengobarkan perlawanan. Belanda dengan membabi buta membakar kampung-kampung dan memaksa rakyat membayardenda yang tinggi.
Pasukan Belanda ternyata berhasil masuk meialui Tapanuli Utara ke basis pertahanan para pejuang. Tempat itu akhirnya dapat dikepungPermintaan Belanda agar raja itu menyerah ditolak dan pertempuran sengit berlangsung. Si Singamangaraja yang bersemboyan “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah” itu akhirnya gugur pada tahun 1907 setelah selama tiga puluh tahun'mengobarkan perlawanan rakyat Tapanuli untuk mengusir Belanda.
0 Response to "Sejarah Si Singamangaraja XI"
Post a Comment